HABONARON-SIMALUNGUN
Pilkada juga punya perjalanan panjang, dulu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD lalu calon yang terpilih ditentukan Presiden. Pada periode berikutnya dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, kemudian berubah lagi menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sendiri sejak tahun 2005 yang lalu.
Karena sejatinya masyarakatlah yang butuh pemimpin, mereka ingin memiliki pemimpin yang perduli akan nasib dan kepentingan mereka, serta tidak KKN, pengurusan administrasi berupa KTP, KK, surat-surat lainnya mudah dan lancar, serta banyak lagi yang lainnya.
Namun faktanya sekarang sangat jauh berbeda serta jauh dari yang diharapkan masyarakat. Lalu muncul pertanyaan : Apa yang terjadi dengan Bumi Habonarondo Bona ?
Setelah setahun blusukan “belanja masalah”, banyak faktor penyebabnya, salah satunya infrastruktur politik belum mampu memberikan pendidikan politik yang benar, cenderung masih mementingkan isitas daripada kualitas dan kapabilitas, para politisi masih mengidentikkan politik sebagai komoditi yang punya nilai pertukaran (exchange value) dan pasar (market). Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dukungan partai paralel dengan modal uang yang dikeluarkan, semakin banyak dukungan semakin banyak pula uang keluar bahkan ada calon sesumbar siap menghabiskan uangnya hingga ratusan milyar di Pilkada ini.
Kadang terlintas dipikiran, kalau ini yang akan jadi pemenangnya nanti, seperti apa dia kelak mengembalikan modal yang sudah dihabiskannya, akankah si calon tersebut masih mau memikirkan masyarakatnya atau sebaliknya akan tega mengambil hak-haknya masyarakat.
Sang calon ini cenderung memposisikan masyarakat hanya sebagai komoditi yang bisa dieksploitasi saat Pilkada saja, masyarakat dianggapnya komunitas recehan yang bisa dibelinya dengan uang, apalagi informasinya sudah ada TS yang mengumpulkan KTP dan KK untuk nanti bermain di serangan fajar, karena hanya dengan metode inilah mereka anggap efektif menjual sang calon agar menang dalam kontestasi ini.
Dari penjelasan di atas, akankah Pilkada ini masih menjadi pasar lelang suara, tidakkah kita sadar dan jera tentang apa yang dialami masyarakat selama 10 tahun ini, tidakkah kita melihat tangis seorang pegawai honor daerah yang menuntut haknya ketika berdemo, tidakkah kita rasakan urusan KTP, KK dan surat-surat lainnya sangat sulit dan harus ke Raya, tidakkah kita lihat sebegitu banyak jalan rusak sekarang ini atau memang harga diri kita masih saja bisa dibeli.
Saya berkeyakinan, masyarakat sudah mulai sadar dan mau berubah, untuk itu mari kita renungkan bersama sebelum menetapkan pilihan siapa kelak yang menjadi pemimpin di Tanoh Simalungun ini. Pilihanmu akan menentukan nasibmu dan jangan munafik, Pilkada juga untuk anak dan cucu kita kelak. Ada kata bijak yang mengatakan “Pilkada bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa” .
Selamat menggunakan hak pilihnya tanggal 9 Desember nanti. Salah gunakan hak pilih, lima tahun ke depan akan menderita. “Vox populi vox dei” suara rakyat adalah suara Tuhan. Politik itu suci.